Senin, 04 Agustus 2025

Sejarah, Makna, dan Tujuan Pelaksanaan Upacara Bendera

 

Upacara Bendera Merah Putih Pertama di Indonesia (Foto Dok. Frans Mendur, 17/08/1945)



Upacara bendera adalah salah satu kegiatan membangun budaya dalam rangka menumbuhkan nilai cinta bangsa dan tanah air, dan biasanya dilaksanakan pada hari besar nasional atau setiap hari Senin oleh berbagai instansi pemerintahan maupun pendidikan.

Mengutip Dony & Evy dalam bukunya ”Inspirasi Praktik Baik Pendidikan Karakter Berbasis Kultur Sekolah”, pelaksanaan upacara bendera diatur dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 mengenai penumbuhan budi pekerti.

Prosesi upacara bendera umumnya meliputi serangkaian kegiatan, antara lain pengibaran bendera, mengheningkan cipta, pembacaan teks Pancasila dan UUD 1945, dan amanat dari pembina upacara.

Namun, mengapa upacara bendera rutin dilaksanakan setiap hari Senin? Alasannya yaitu adalah karena Senin merupakan hari awal beraktivitas setelah hari libur, jadi hari Senin diharapkan dapat meningkatkan semangat dan keseriusan dalam menjalani upacara.

Sejarah Upacara Bendera di Indonesia

Berdasarkan website resmi Indonesia.go.id, upacara bendera pertama kali dilaksanakan pada 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia di rumah pribadi Soekarno yang beralamat di Jl. Pegangsaan Timur No. 56. setelah pembacaan teks proklamasi, Bendera Merah Putih dikibarkan untuk pertama kalinya, diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai simbol kemerdekaan

Disusul upacara kedua yang dilaksanakan pada 17 Agustus 1946 di halaman Gedung Agung, Yogyakarta. Sementara upacara bendera ketiga dilaksanakan di Istana Negara sejak tahun 1950. Momen tersebut bertepatan dengan kembalinya Soekarno setelah diasingkan oleh Belanda di Pulau Bangka. Kala itu, Soekarno segera meminta Bendera Merah Putih dipasang di tiang setinggi 17 m.

Berikut adalah beberapa poin penting terkait sejarah upacara bendera:

Proklamasi Kemerdekaan:

Upacara bendera pertama ini dilaksanakan setelah pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno, menandai awal dari perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. 

Pengibaran Bendera:

Bendera Merah Putih, yang dijahit Ibu Fatmawati, dikibarkan untuk pertama kalinya oleh Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo dengan diiringi lagu kebangsaan. 

Simbol Kebangsaan/ Makna Simbolis:

Upacara bendera menjadi simbol penting dari perjuangan bangsa, pemersatu bangsa, penghormatan terhadap simbol negara, pengingat akan perjuangan para pahlawan, dan memupuk semangat patriotisme, nasionalisme, serta cinta tanah air. 

Pelaksanaan Rutin:

Setelah kemerdekaan, upacara bendera dilaksanakan secara rutin di berbagai instansi pemerintah, sekolah, dan organisasi di seluruh Indonesia, terutama pada hari-hari besar nasional dan setiap hari Senin. 

Nilai-nilai Pendidikan:

Upacara bendera juga memiliki tujuan pendidikan, seperti menanamkan sikap kedisiplinan, kepemimpinan, kerja sama, rasa percaya diri, dan tanggung jawab, kedisiplinan, kepemimpinan, kerja sama, kekompakan, kekuatan fisik dan mental, patriotisme, serta nasionalisme.

Kegiatan MPLS SMPN Satu Atap Cibulan 2025 dan Pengibaran Bendera Merah Putih (Foto Dok. Sigid PN)


Upacara Bendera di Sekolah

Landasan Hukum

Upacara bendera di sekolah mulai diwajibkan secara lebih formal pada tahun 1960-an dan diperkuat dengan landasan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pedoman Upacara Bendera di Sekolah. Selain itu.

Landasan hukum berikutnya adalah Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, yang menjadikan upacara bendera sebagai bagian dari kegiatan pembinaan peserta didik di sekolah. 

Selain tersebut di atas, yang menjadi landasan hukum pelaksanaan upacara bendera di Indonesia yaitu Inpres No. 14 Tahun 1981. Instruksi Presiden ini mengatur penyelenggaraan upacara pengibaran bendera merah putih, yang menjadi dasar bagi pelaksanaan upacara bendera di berbagai tingkatan, termasuk sekolah. 

Dalam UU No. 9 Tahun 2010 yang mengatur tentang Keprotokolan juga menjadi dasar dalam pelaksanaan upacara bendera, karena upacara bendera merupakan bagian dari acara resmi yang perlu diatur secara protokoler. 

UU No. 24 Tahun 2009 juga mengatur tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan juga menjadi dasar hukum yang relevan, karena upacara bendera berkaitan erat dengan penghormatan terhadap bendera negara. 

Maka dari itu, pelaksanaan upacara bendera di sekolah memiliki dasar hukum yang kuat, baik dari peraturan menteri maupun undang-undang yang mengatur tentang keprotokolan, bendera negara, dan penumbuhan budi pekerti peserta didik.

Melalui upacara bendera, peserta didik diajak untuk mengenang kembali jasa para pahlawan yang telah berjuang dalam membebaskan bangsa Indonesia dari penjajah, sehingga bendera merah putih dapat berkibar sampai hari ini. Upacara bendera di sekolah bukan sekadar rutinitas, tetapi merupakan bagian penting dari pendidikan karakter dan pembentukan warga negara yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air. 

Tujuan Upacara Bendera

Tujuan diadakan upacara bendera, selain sebagai tolok ukur pengamalan Pancasila dan nasionalisme warga negaranya, juga sebagai sarana pembentukan karakter. Karakter positif yang akan membangun generasi muda menjadi generasi positif, memiliki pandangan positif dan kinerja yang juga positif.

Setelah melaksanakan upacara bendera, diharapkan warga negara Indonesia menjadi lebih menghargai perjuangan para pahlawan terdahulu. Kemerdekaan diraih dengan pengorbanan yang luar biasa, banyak para pahlawan yang gugur dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Artikel ini pernah tayang di:

https://www.kompasiana.com/sigidpn/6890a51aed64154bb6422e92/sejarah-makna-dan-tujuan-pelaksanaan-upacara-bendera

https://sigidpn.blogspot.com/2025/08/sejarah-makna-dan-tujuan-pelaksanaan.html


Kamis, 22 Desember 2022

Menumbuhkan Minat Baca Pada Peserta Didik

Photo Dokpri

Pepatah bijak mengatakan apabila engkau ingin mengenal dunia maka membacalah dan apabila engkau ingin dikenal oleh dunia maka menulislah. Kalimat tersebut walaupun terkesan sederhana akan tetapi sangatlah mempunyai makna yang teramat dalam karena dibalik kesuksesan kita hingga dapat meraih gelar sarjana bahkan lebih dari itu, tentulah tidak terlepas dari aktivitas menulis dan membaca.

Yang menjadi pertanyaannya kini adalah sudahkan kita sebagai orang tua menumbuhkan minat membaca dan menulis terhadap anak-anak kita? Sadarkah para orang tua bahwasannya menumbuhkan minat membaca dan menulis kepada anak-anaknya merupakan hal yang teramat penting? Orang tua mana yang tidak berharap anak-anaknya dapat meraih kesuksesan serta kebahagiaan di masa depan, maka dari itu marilah kita arahkan mereka kepada hal-hal positif, salah satunya yaitu dengan menumbuhkan minat baca. Peran keluarga sangat penting dalam menumbuhkan minat baca khususnya pada anak-anak usia sekolah karena umumnya waktu mereka sebagian besar adalah di rumah berkumpul bersama keluarga.

Nah, dalam artikel ini saya mencoba untuk sedikit berbagi tentang bagian dari literasi yaitu aktivitas membaca ditinjau dari sudut pandang seorang guru. Literasi pada mulanya lebih diartikan sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf ataupun bisa membaca. Sehingga pada fase-fase awal, literasi secara umum selalu diidentikkan dengan kemampuan membaca. Dalam perkembangannya, literasi tidak hanya berkaitan pada aktivitas membaca saja. Menurut definisi yang dikemukakan di dalam Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara (2017).

Tujuan utama pembelajaran literasi membaca adalah agar peserta didik mampu memperoleh pemahaman yang mendalam dari informasi yang didapatkan (membaca untuk belajar). Pembelajaran literasi membaca ditekankan pada aktivitas peserta didik, agar peserta didik mampu :

  1. Menganalisis isi teks baik secara eksplisit maupun implisit.
  2. Menggambarkan inferensi analitis atas teks.
  3. Mengkritisi teks melalui penggunaan logika berpikir yang benar, serta ditunjang oleh fakta-fakta yang lengkap baik dari dalam teks maupun luar teks.
  4. Memproduksi secara kreatif pemahamannya melalui berbagai media representasional yang bersifat multimoda, multi genre, multimedia, dan multibudaya.

Mengutip pendapat Abidin (Vacca, 2015), untuk mencapai tujuan pembelajaran literasi membaca, proses pembelajaran setidaknya harus melewati tiga tahapan kegiatan, antara lain yaitu aktivitas prabaca, aktivitas membaca, dan aktivitas pascabaca.

1. Aktivitas Prabaca

Guru harus mampu mengarahkan peserta didik pada topik pembelajaran yang akan mereka pelajari. Terkait asumsi dasar ini, aktivitas prabaca adalah kegiatan pengajaran yang dilaksanakan sebelum peserta didik melakukan kegiatan membaca.

Beberapa aktivitas prabaca yang dapat dilakukan guru antara lain yaitu :

  1. Memilih atau menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membaca.
  2. Memilih teks yang dibutuhkan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
  3. Menyusun pertanyaan pemandu yang terkait dengan teks.
  4. Membangkitkan pengetahuan awal yang berhubungan dengan topik teks.
  5. Mengarahkan peserta didik untuk membuat pertanyaan dan prediksi baik yang berkenaan dengan topik ataupun topik secara umum.

Photo Dokpri

2. Aktivitas Membaca

Setelah aktivitas prabaca, dilanjutkan dengan kegiatan inti yaitu membaca. Dalam pandangan pendekatan respons pembaca, aktivitas membaca yang dilakukan berfokus pada upaya mendapatkan pemahaman secara literal, inferensial, maupun kritis. Hal ini juga dikorelasikan dengan 3 strategi pembelajaran yaitu: memorisation strategies, elaboration strategies dan control strategies. Oleh karena itu ragam aktivitas membaca lebih banyak berkaitan dengan upaya menganalisis, membandingkan, dan mengkritik teks.

Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan guru dalam aktivitas membaca ini sebagai berikut :

  1. Memfasilitasi peserta didik untuk membaca, menganalisis, dan mengutip teks untuk tujuan tertentu, sambil membangun pemahaman dalam membaca.
  2. Mendorong peserta didik untuk menghubungkan skematanya (baik berupa pengalaman, pengetahuan, sikap, maupun keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya), teks lain yang pernah dibaca, serta konteks kehidupan dengan teks yang sedang dibaca.
  3. Memfasilitasi peserta didik untuk menjawab pertanyaan yang dibuat (menguji prediksi) dan/atau melakukan kegiatan lain yang relevan dengan tujuan pembelajaran.
  4. Mendorong terciptanya percakapan dan pengalaman yang kaya dan terikat teks untuk mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.
  5. Mendorong peserta didik untuk mengkomunikasikan dengan peserta didik lain terkait hasil kajian dan respons yang dibuatnya.
  6. Memfasilitasi peserta didik untuk menganalisis tujuan penulisan teks, mengevaluasi argumen dan bukti-bukti yang dibuat penulis, serta menemukan makna mendalam dari sebuah teks. proses ini bisa dilakukan melalui kerja kooperatif ataupun kolaboratif.

3. Aktivitas Pascabaca

Aktivitas pascabaca merupakan tahapan pembelajaran literasi yang menguji sekaligus memantapkan kemampuan berpikir kritis. Pada dasarnya tahap ini adalah tahapan yang dilakukan untuk merespons, mengeksplorasi, merefleksi, dan mengevaluasi teks yang telah dibaca. Beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan dalam tahap pascabaca antara lain :

  1. Merespon teks menjadi sebuah proyek atau produk lain yang menggambarkan kemampuannya menemukan intisari informasi.
  2. Menganalisis opini dan fakta yang terkandung dalam teks.
  3. Mengevaluasi teks berdasarkan pengetahuan awal atau informasi dari berbagai sumber lain.
  4. Mengembangkan dan mendukung intisari yang dibuatnya dengan bukti-bukti yang terdapat dalam teks. Peserta didik juga bisa membuat informasi baru yang berhubungan dengan informasi yang terkandung dalam teks, berdasarkan hasil pemahaman baru yang diperolehnya.
  5. Menilai kebaruan informasi teks (up to date) yang telah dibaca dan objektivitas informasi dalam teks yang dibaca (tidak bias, bukan hoak).

Marilah kita tanamkan minat membaca kepada anak-anak kita dan berikan mereka sumber-sumber bacaan positif yang dapat membentuk karakter mulia. Dengan membaca maka jendela informasi dunia akan terbuka lebar. Sumber bacaan baik berupa buku hingga artikel-artikel menarik dan faktual sangat mudah diperoleh serta diakses melalui media offline maupun online. Menjalin kolaborasi dalam hal menumbuhkan minat baca anak atau peserta didik antara orang tua dengan pihak sekolah khususnya guru akan semakin membantu perkembangan literasi mereka. Semoga artikel ini bermanfaat.


Artikel ini telah tayang di :

https://www.kompasiana.com/sigidpn/63a3ff0d4addee55f04e7903/menumbuhkan-minat-baca-pada-peserta-didik


Sabtu, 10 September 2022

Menelisik Sejarah Perkembangan Pendidikan Indonesia


Sistem pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman. Baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah selalu berupaya agar terjadi peningkatan kualitas serta mutu pendidikan. Berikut ini akan disampaikan bagaimana sejarah tentang dunia pendidikan Indonesia pada masa penjahan Belanda yang merupakan bagian dari politik balas budi hingga mencapai perkembangannya di tahun 2022.

  • Pendidikan sebagai Politik Balas Budi (Trias Van Deventer).

Politik Etis dicetuskan oleh Conrad Theodor van Deventer dan Pieter Brooshooft. Pada 17 September 1901, Politik Etis resmi diberlakukan setelah Ratu Wilhelmina yang baru naik takhta menegaskan bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan Politik Etis.

Penderitaan rakyat Indonesia ketika dijajah menggugah hati nurani sekelompok orang Belanda hingga memunculkan gagasan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa jajahan. Program ini dikenal dengan istilah Politik Etis (Trias Van Deventer) atau Politik Balas Budi. Politik Etis adalah tindakan balas budi yang diberikan oleh Belanda untuk kesejahteraan pribumi karena telah diperlakukan secara tidak adil dan dieksploitasi kekayaan alamnya. Terdapat tiga kebijakan dalam Politik Etis, yaitu sebagai berikut :

1. Edukasi.

Edukasi adalah program peningkatan mutu sumber daya manusia dan pengurangan jumlah buta huruf yang implikasi baiknya juga untuk pemerintah Belanda. Sebab dengan program ini, Belanda mendapatkan tenaga kerja terdidik untuk birokrasinya tetapi dengan gaji yang rendah. Edukasi dilakukan dengan membangun lembaga pendidikan modern di Indonesia, misalnya adalah Technische Hogereschool te Bandung (THS, Sekolah Teknik Bandung, sekarang ITB) Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA, sekolah pegawai negeri) dan School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA, sekolah dokter).

2. Irigasi (pembangunan saluran pengairan).

Irigasi dilakukan dengan membangun waduk, bendungan dan saluran irigasi untuk mengairi lahan persawahan dan perkebunan.

3. Imigrasi (perpindahan penduduk).

Transmigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk dari Jawa yang padat untuk bekerja di perkebunan Belanda di luar Jawa atau dengan memindahkan  penduduk dari pulau Jawa yang padat ke luar Jawa.



  • Taman Siswa dan Cita-cita Pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Hari Guru Nasional tak lepas dari sosok Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya. Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa berdiri pada 3 Juli 1922. Pendirinya salah satu promotor pendidikan di Indonesia di tengah hegemoni sekolah kolonial. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat kala itu genap umurnya 40 tahun, lalu mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.

Beliau dibesarkan di lingkungan keluarga keraton Yogyakarta. Gelar kebangsawanan ditanggalkannya dari nama baru. Garis keturunan Ki Hadjar Dewantara merupakan keluarga dari kerajaan Pakualam. Ayahnya GPH Soerjaningrat, dengan begitu secara langsung merupakan cucu dari Pangeran Paku Alam III. Secara latar pendidikan, karena seorang priayi, Ki Hadjar Dewantara lulus dari Europeesche Lagere School yang merupakan Sekolah Dasar pada zaman kolonial Hindia Belanda. Mengutip dari buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II A: Kebudajaan, setelah lulus melanjutkan ke STOVIA namun, gagal lulus karena sakit.

Saat itu, pribumi tidak mendapatkan akses pendidikan yang setara dengan bangsa Eropa yang berdiam di tanah air. Buku Karya Robert Van Niel yang berjudul Munculnya Elite Modren Indonesia (2009) menyebutkan Belanda menerapkan sistem pendidikan yang bertingkat. Dimana hal ini didasarkan atas status sosial masyarakat Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara kembali dari pengasingan bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo pada September 1919. Tiga Serangkai ini diasingkan jauh ke negeri tulip, Ki Hadjar Dewantara sendiri diasingkan karena tulisannya yang berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda”.

Tulisan yang kritis terhadap rencana pemerintah Hindia Belanda mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk kalangan pribumi untuk merayakan satu abad kemerdekaan Belanda pada 15 November 1913. Ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg. Tulisannya ini terbit di surat kabar De Express, 13 Juli 1913.

Saat pengasingan ini, beliau aktif dalam organisasi pelajar asal Indonesia, Indische Vereening, bahkan sempat menjadi redaktur di majalah Hindia Putera. Juga kerap mengirimkan karangannya untuk koran Oetoesan Hindia yang merupakan media propaganda organisasi politik. Disaat berstatus orang buangan jauh dari tanah kelahiran, Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu pendidikan hingga meraih Europeesche Akte alias Ijazah pendidikan yang bergengsi.

Pepatah yang diciptakannya dalam bahasa Jawa menggambarkan harapan dan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yang menjadi prinsip Taman Siswa. Pepatah terkenal itu berbunyi “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani” bila diterjemahkan sebagai (bagi yang) di depan harus memberi contoh, (untuk yang) di tengah harus membangkitkan semangat, dan (bagi yang) di belakang harus memberi semangat.

Sebuah jurnal Semangat Taman Siswa dan Perlawanannya terhadap Undang-Undang Sekolah Liar (1994) menyebutkan lahirnya Taman Siswa membuat gusar pemerintah Hindia Belanda. Bahkan Belanda menerbitkan Wilde Scholen Ordonantie, sebuah undang-undang yang guna membatasi perkembangan pendidikan alternatif Indonesia. Dimana setelah UU ini berlaku, seluruh kegiatan Taman Siswa ditutup dan dibatasi ruang gerak pengajarnya. Namun semangat tak pudar. Guru-guru dan murid di Taman Siswa bersembunyi-sembunyi melanjutkan proses pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara menjadi Menteri Pengajaran Indonesia pertama dari 19 Agustus hingga 14 November 1945. Beliau mendapat gelar doktoral kehormatan dari Universitas Gadjah Mada pada 1957. Ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 305 tahun 1959, 28 November di tahun yang sama. Tanggal lahirnya juga ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hanya beberapa bulan sebelumnya, 26 April 1959, Ki Hadjar Dewantara menutup usia pada 69 tahun di Yogyakarta. Bapak pendidikan ini selalu dikenang saat Hari Guru Nasional.


  • Reformasi Pendidikan Nasional Melalui Merdeka Belajar  06 Mei 2020.

Kemendikbud Ristek Dikti telah melakukan reformasi sistem pendidikan Indonesia melalui kebijakan Merdeka Belajar. Kebijakan Merdeka Belajar memberi kemerdekaan setiap unit pendidikan berinovasi. Konsep ini menyesuaikan kondisi di mana proses belajar mengajar berjalan, baik sisi budaya, kearifan lokal, sosio-ekonomi maupun infrastruktur. 

Hal ini menjelaskan bahwa Nadiem Makarim mengajak masyarakat untuk menghidupkan kembali pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Menurutnya, Kemendikbud telah menyiapkan strategi yang tidak akan keluar dari esensi pendidikan, yakni kualitas guru. Guru tidak akan mungkin bisa digantikan teknologi. Sedangkan teknologi adalah alat bantu guru meningkatkan potensi dan mencari guru-guru penggerak terbaik serta memastikan bisa menjadi pemimpin-pemimpin pembelajaran dalam sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.

Kurikulum yang mudah dipahami dan lebih fleksibel juga menjadi salah satu hal yang diperlukan untuk mendukung implementasi Merdeka Belajar. Kurikulum yang dapat mendorong para guru agar dapat memilih materi atau metode pembelajaran dengan kualitas tinggi, tetapi sesuai tingkat kompetensi, minat, dan bakat masing-masing siswa. Atas dasar tersebut Kemendikbud Ristek Dikti telah meluncurkan Kurikulum Merdeka.

Esensi Merdeka Belajar adalah menggali potensi terbesar para guru-guru sekolah dan murid kita untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri. Mandiri bukan hanya mengikuti proses birokrasi pendidikan, tetapi benar-benar inovasi pendidikan.

- Teknologi untuk Akselerasi.

Keberagaman pendekatan yang ada menghasilkan berbagai macam teknik dan inovasi di setiap daerah, sekolah, dan siswa, semua itu hanya bisa dilakukan hanya dengan dukungan teknologi. Merdeka Belajar tidak akan mungkin bisa berhasil tanpa teknologi. Teknologi ini bukan semuanya online melainkan bisa macam-macam. Jadi semua yang kita sebutkan teknologi akan digunakan dalam mengimplementasi Merdeka Belajar.

Sisi lain dari Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) memberikan potensi akselerasi kebijakan Merdeka Belajar serta menunjukkan bahwa sebenarnya ada selisih besar antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi dengan yang tidak. 

- Keberagaman sebagai Esensi.

Setiap siswa, sekolah, dan daerah memiliki tingkat kompetensi fundamental, literasi, dan numerasi yang berbeda, kurang masuk akal jika memaksakan suatu tingkat standar di setiap tahun pembelajaran dalam kurikulum. Guru harus bisa mencari materi yang sesuai tingkat dengan kompetensi siswanya.

Keberagaman minat dan kemampuan yang dimiliki siswa menjadi alasan paling kuat agar pengukuran kinerja siswa tidak boleh dinilai hanya menggunakan angka-angka pencapaian akademik, tetapi juga berbagai macam aktivitas lain atau ekstrakurikuler. 

Kearifan lokal juga merupakan unsur penting dalam pembelajaran. Setiap siswa akan lebih memahami materi bila menggunakan konteks lokal. Setiap murid akan melihat semua mata pelajaran dan semua materi dalam konteks. 

- Profil Pelajar Pancasila.

Nadiem menjelaskan salah satu mandat yang diberikan Presiden adalah penyesuaian kurikulum yang bertujuan mewujudkan profil para pelajar di Indonesia. Oleh karena itu Kemendikbud Ristek Dikti telah menetapkan enam indikator sebagai profil pelajar Pancasila.

Enam profil tersebut adalah pertama, bernalar kritis agar bisa memecahkan masalah. Hal ini berhubungan dengan kemampuan kognitif. Kedua, kemandirian, yaitu siswa secara independen termotivasi meningkatkan kemampuannya, bisa mencari pengetahuan serta termotivasi. Ketiga, adalah kreatif, di mana siswa bisa menciptakan hal baru, berinovasi secara mandiri, dan mempunyai rasa cinta terhadap kesenian dan budaya. Keempat, gotong-royong, di mana siswa mempunyai kemampuan berkolaborasi yang merupakan softskill utama yang terpenting di masa depan agar bisa bekerja secara tim. Kelima, kebhinekaan global yang merupakan upaya agar siswa mencintai keberagaman budaya, agama dan ras di negaranya serta dunia, sekaligus menegaskan mereka juga warga global. Keenam, berakhlak mulia. Di sinilah moralitas, spiritualitas, dan etika berada. Menurut Nadiem Makarim, sudah pasti hal ini akan menjadikan pendidikan karakter akan menjadi salah satu pilar inti.

- Pembelajaran Darurat.

Mendikbud Ristek Dikti memahami kondisi pembelajaran jarak jauh di masa darurat Covid-19 tidak berjalan optimal. Namun, dengan keluarnya semua orang, baik guru, orang tua, juga siswa, dari zona nyaman masing-masing, dinilainya akan semakin melatih karakter adaptif, inovatif dan kreatif dari komunitas pendidikan.

- Kurikulum Merdeka.

Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam dimana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik.

Berbagai studi nasional maupun internasional menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami krisis pembelajaran (learning crisis) yang cukup lama. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa banyak dari anak-anak Indonesia yang tidak mampu memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar. Temuan itu juga juga memperlihatkan kesenjangan pendidikan yang curam di antar wilayah dan kelompok sosial di Indonesia. 

Keadaan ini kemudian semakin parah akibat merebaknya pandemi Covid-19. Untuk mengatasi krisis dan berbagai tantangan tersebut, maka kita memerlukan perubahan yang sistemik, salah satunya melalui kurikulum. Kurikulum menentukan materi yang diajarkan di kelas. Kurikulum juga mempengaruhi kecepatan dan metode mengajar yang digunakan guru untuk memenuhi kebutuhan peserta didik.

Untuk itulah Kemendikbud Ristek mengembangkan Kurikulum Merdeka sebagai bagian penting dalam upaya Projek untuk menguatkan pencapaian profil pelajar Pancasila dikembangkan berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Projek tersebut tidak diarahkan untuk mencapai target capaian pembelajaran tertentu, sehingga tidak terikat pada konten mata pelajaran.

Demikianlah beberapa history dan perubahan-perubahan yang terus terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sudah selayaknya sebagai seorang warga negara yang baik kita mesti mendukung setiap langkah-langkah Pemerintah demi terciptanya peningkatan mutu serta kualitas pendidikan. Maju terus pendidikan Indonesia dan salam literasi.


Artikel ini pernah tayang di :

https://sigidpn.blogspot.com/2022/05/menelisik-pendidikan-di-indonesia-dari.html

Sejarah, Makna, dan Tujuan Pelaksanaan Upacara Bendera

  Upacara Bendera Merah Putih Pertama di Indonesia (Foto Dok. Frans Mendur, 17/08/1945) Upacara bendera adalah salah satu kegiatan membangun...